tentang malam itu, pertama kalinya kubentakkan suaraku terhadapmu. aku sudah menduganya, kau akan menangis sesenggukan dalam selimut hijaumu. merutukku dengan aliran caci maki dalam hatimu. dugaanku yang lain, kau berencana segera meninggalkan ruangan yang malam itu telah berubah menjadi neraka bagimu, karena amarahku. dan aku tak heran setelah 15 menit kemudian kau beringsut dari tempat tidurmu, menyambar celana, jaket dan kunci motormu lalu kau banting pintu ruangan, aku tak heran dugaanku benar.
5 menit sebelum kau tinggalkan jejak kakimu di pintu ruangan, aku sudah berniat pergi. mendahului minggat sebelum kamu, bedanya aku tak tahu akan kemana jika ku pergi. sedangkan kau, sejak berakhirnya sentakan suaraku kepadamu, kau sudah punya tujuan hendak melaju kemana jika kau berlari. maka ku putuskan, biar kau saja yang meninggalkan ruangan ini, dan aku akan menikmati kebebasanku tanpamu.
sudah seminggu ini aku tak menikmati sarapanku bersamamu. mie instant dan telur kini hanya habis 1 setiap pagi. dan pagi ini hanya ku habiskan 35ribu untuk belanja kebutuhan sehari-hari, 35ribu yang lain bertengger dengan nyaman dalam dompet, tak tersentuh karena itu milikmu, porsimu.
lalu aku tetap mencoba tersenyum ketika ibu penjual mie ayam menyanyakan kenapa aku datang sendirian, aku bilang saja kulitmu sedang iritasi dan tak boleh makan mie. ibu penjual mie ayam tersenyum maklum dan melayaniku tanpa bertanya pesananku -karena dia tahu kebiasaanku dan kebiasaanmu, aku tak suka diberi ceker sedangkan kau akan mengumpat jika tak kau temukan 2 ceker dalam mangkok mie ayammu-, kini ceker bagianmu telah berpindah ke perut orang lain, seandainya kau tak terburu pergi dan mau instropeksi diri, kau akan mendapatkan cekermu siang ini.
10 hari setelah ketidakmunculanmu, orang-orang semakin menjauhiku. bahkan untuk menganggapku ada pun tidak. mereka lebih memilih diam ketika mengetahui bayangaku datang. aku tahu mereka tercekam takut melihat kita terpisah melalui pertengkaran hebat. sesungguhnya dibenak mereka, kita adalah pasangan tersempurna. yang selalu bisa tertawa meski tengah terpuruk. mereka pula yang turut merasa terhibur saat kita bercengkrama. jelas tak terperi dalam benak mereka aku bisa memarahimu dengan begitu keras, dikiranya didepanmu aku tak akan bisa muntab, karena segala yang kau mau selalu kuberi, segala yang kau rajuk selalu ku sambut. tapi malam itu mereka tahu bahwa aku juga bisa menjadi antagonis, dan kugunakan topengku yang lain, mengecewakan mereka dengan mematahkan spekulasi mereka tentangku. bahwa ternyata aku bisa begitu menyeramkan, bahkan kepada orang-orang terdekatku, kamu, pembaca hasratku.
245 jam setelah ku tersenyum untuk terakhir kalinya. bukannya aku lupa caranya tersenyum, hanya aku sedang mencari cara untuk terlihat manis meski tanpa senyum. senyumku terakhir kali kuberikan untukmu, saat kau kebingungan mencari kunci dan uring-uringan karena tak segera kau temukan kunci itu. kuberi kau senyum tetapi kau tetap uring-uringan, lalu harus ku beri apa jika ternyata senyumku tak terlihat manis dimatamu, tak bisa redakan jengkelmu.
dua minggu aku tak bersamamu dan aku tetap melangkahkan kaki. sesekali kurasakan ketimpangan ini, tapi segera kutepis. aku tak ingin kehilanganmu menjadi alasan untuk jiwaku turut hilang. aku harus tetap tegar, mencengkeram jiwamu yang kau tinggal padaku. paling tidak sampai nanti kau kembali, memastikan separuhmu aman bersamaku. langkahku akan tetap tegak dan mantap, menginjakkan bumi dengan angkuh, ku pastikah hari-hariku tanpamu akan tetap berwarna.
bagaimana mungkin kau tidak merasakan ketimpangan ini, aku tahu kau disana juga merasa sebagaimana yang kurasa. tapi kita memang begitu sama. kita sama-sama memungkiri dan enggan untuk saling kembali. baik padamu atau padaku, sama-sama tak memiliki energi yang cukup untuk memulai bergerak dari keadaan statis. entah dari mana akan ku kumpulkan keberanianku untuk sekedar menanyakan kabarmu. jika bertanya kabar saja tak mampu, apalagi mengajakmu bersepeda sore ke danau.
warna-warna hariku, akan tetap kupelihara. hingga nanti aku tahu telah tiba saatnya kau pulang dan merindu pelukanku. adalah ketika jiwamu habis dan tak bersisa, lalu kau ingat bahwa kau menyimpan separuhnya padaku. aku akan setia menunggu waktu itu. bersamaku kau akan menjadi utuh kembali. akan kutunjukkan padamu, separuh jiwamu kusimpan disamping danau, akan terlihat mencorong ketika matahari terlihat jingga diufuk barat.